Minggu, 28 Agustus 2016

Muda, Tua dan Bahagia


Seorang nenek menemui Nabi yang mulia dan berkata “Wahai Nabi doakanlah agar aku nanti bisa masuk ke dalam surga”. Sambil tersenyum Nabi menjawab, “ sayang sekali nek, di syurga nanti tidak ada orang tua”. Mendengar hal ini nenek menangis tersedu-sedu, sampai Nabi kemudian mengatakan, “Di surga tidak ada orang tua. Semua orang akan menjadi muda kembali. Di Syurga memang hanya ada orang muda.”
Saat acara upacara memperingati hari kemerdekaan Indonesia ke 71 kemarin terdengar sebait lagu Indonesia Raya. “ Disanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku”. Pertanyaannya siapakah yang akan memandu seorang ibu? Anak-anak kecil mungkin lebih cocok menjadi sosok yang dipandu oleh seorang ibu. Jika orang tua, mungkin lebih cocok juga menjadi orang yang dipandu. Lebih cocok yang dimaksud dalam lagu tersebut adalah seorang pemuda yang mempunyai badan kuat dan semangat untuk memandu seorang ibu. Begitulah pemuda yang mempunyai peran-peran strategis.
Ya, pemuda sesungguhnya memiliki peran strategis. Pemuda adalah lambang optimisme, kemajuan, gairah, semnagat dan kebahagiaan. Kebahagiaan orang muda tentu berbeda dengan kebahagiaan orang tua. Kebahagiaan anak muda adalah dengan berkarya sedangkan kebahagiaan orang tua adalah menikmati karyanya di masa lalu. Ketika dimasa muda kita berkarya, menghasilkan manfaat untuk orang lain maka suatu saat ketika kita menjadi orang tua kita akan bangga bercerita kepada anak cucu kita tentang masa muda kita.
Masa muda adalah  masa untuk berbuat, masa untuk menanam, masa untuk menabur. Maka tanamlah terus bibit-bibit kebaikan, teruslah berkarya dengan karya-karya terbaikmu dan kelak engkau akan memanen hasilnya dengan bahagia.
Kebahagiaan seorang pemuda mungkin tidak hanya kebahagiaan pemuda yang hanya dibatasi secara umur memang masih muda. Tetapi kebahagiaan ini juga bisa dirasakan oleh orang tua yang berjiwa muda. Meskipun secara fisik tidak dapat lagi dibilang muda tapai mempunyai semangat muda. Masih mempunyai semangat dan optimisme seperti anak muda. Semangat berkarya, semangat berinovasi dan siap menerima tantangan dan siap melakukan perubahan. Mereka adalah orang-orang yang berjiwa muda.  Jadi jangan pernah khawatir menjadi orang tua. Karena orang tua yang mempunyai jiwa muda dan sanggup melakukan menerima dan ikut dalam perubahan yang lebih baik akan merasakan kebahagiaan yang juga dirasakan oleh anak-anak muda. Seperti kisah nenek yang ingin masuk syurga tadi. Usia boleh menua tapi dengan semangatnya untuk terus memperbaiki dirinya, semangat untuk terus berbuat kebaikan, terus berkarya dan melakukan perubahan disekelilingnya akan menjadi tiket si nenek menjadi pemuda yang akan menikmati kenikmatan syurgawi kelak.
Lambat laun, orang-orang muda pun akan berubah menjadi orang tua, sebuah hukum alam yang tak terelakkan. Menua itu keniscayaan, tapi menua dengan tetap berjiwa muda yang selalu semangat dengan terus menanam kebaikan dan manfaat adalah pilihan.
Fairy tales can come true. It can happen to you if you’re yaoung at heart
For it’t hard, you will find
To be narrow of mind if you’re young at heart
(Frank Sinatra)

Rabu, 24 Agustus 2016



Antara Ember dan Kerinduan


Alkisah suatu hari ada sekumpulan Bapak yang sedang  berkumpul disebuah rumah, namanya kumpulan bapak-bapak pasti seru. Apalagi ditemani kopi dan gorengan singkong. Ketika bapak-bapak itu sedang asyik ngobrol sambil guyonan, terdengar suara keras yang mengagetkan bapak-bapak tadi. Si Bapak yang punya rumah, yang mungkin merasa keseruannya bersama teman-teman terganggu kemudian lari ke arah sumber suara tadi yang ternyata adalah suara ember yang jatuh didekat pintu kamar mandi karena ditabrak sama anaknya yang buru-buru masuk ke kamar mandi karena sudah kebelet . Tanpa peduli dengan apa dan bagaimana rasa kebelet si anak, dengan suara keras dan berkacak pinggang langsung membentak, “Apaan sih! Bikin ribut saja! Ganggu orang ngobrol aja! Masak ember sebesar itu ditabrak! Memang tidak bisa ngelihat?!” Si anak pun langsung  menunduk pucat, karena kena marahnya si Bapak.
Di kemudian hari situasinya berganti. Di rumah yang sama, ganti si anak yang sedang berkumpul dengan teman-temanya, bercanda-ria dan mengobrol seru bersama teman-temannya, sementara ada sang  Bapak yang sedang  menonton acara sepak bola kesukaannya di TV. Tiba-tiba, karena kebelet juga, Bapak  berlari ke kamar mandi untuk menunaikan hajatnya. Dan terdengarlah suara keras dari arah kamar mandi. Kejadian yang sama terjadi, karena terburu-buru si Bapak ganti menendang sebuah ember yang (lagi-lagi) terletak di tengah jalan di depan pintu kamar mandi. Tebak apa yang terjadi? Tepat sekali,  si Bapak yang dengan suara keras sambil berkacak pinggang langsung membentak, “Dasar ember! Siapa yang taruh ember ini disini? Tidak punya aturan! Otak tidak dipakai, mosok ember sebesar ini ditaruh di sini? Kamu ya ‘nak? Kamu juga (menunjuk si anak) malah enak-enakan ngobrol bukannya mberesin ember!” (Teuteup sama dengan kondisi yang pertama si Bapak marah-marah). Kembali si anak pun menunduk pucat, karena kena marahnya si Bapak.

Dalam cerita tersebut,dari situasi yang sama dengan respons yang berbeda, sering terjadi dalam kehidupan kita termasuk dalam kehidupan pekerjaan kita. Layaknya sebuah keluarga, dikantor pasti juga ada seorang bapak dan anak sebagai  analogi hubungan atasan-bawahan . Kapanpun, bisa jadi selalu ada ember yang tertabrak (timbul masalah atau konflik). Siapapun, bapak atau anak (atasan atau bawahan) bisa menabrak ember, akan tetapi cenderung selalu si Bapak yang ‘seolah-olah’ benar dan membentak marah .
Kita semua sepakat kalau ada yang berlaku tidak adil, yaitu si Bapak. Kemarahan si Bapak tentu akan menimbulkan ‘penderitaan’ psikologis bagi si anak, atau bahkan si anak jadi kehilangan citra positif terhadap si Bapak. Si anak akan sangat mudah menilai si Bapak sebagai sosok yang menakutkan , Pemarah,  tidak mau mengakui kesalahan saat menabrak ember, suka mencari kambing hitam (enak ya jadi kambing,  sebentar lagi pada banyak yang nyari ya karena mau lebaran haji hehe), mau menangnya sendiri dan persepsi lainnya dari diri si Anak.  Ketika si Bapak kehilangan integritas di mata si anak gara-gara sebuah ember, sulit kiranya mengharapkan si anak akan menjadi pengikut atau bawahan yang patuh, baik dan loyal. Bisa sih patuh tapi karena takut dengan  Si Bapak . Si Bapak pun akan sulit memposisikan dirinya sebagai contoh yang baik, pemimpin yang patut diikuti dan diteladani, sehingga cenderung kehilangan power kepemimpinannya. Diperlukan usaha keras bagi SI Bapak untuk menciptakan dan memperbaiki  hubungan yang erat kembali  layaknya sebuah keluarga yang harmonis.
Lebih dari itu, si anak akan merasa bahwa apapun yang dilakukan dia akan selalu serba salah, menjadi bulan-bulanan tanpa kesempatan mendapat perlakuan yang sesuai, apalagi menyatakan diri tidak bersalah (“Lha wong yang salah si ember”). Si anak cenderung menjadi tertekan, stres, takut berinisiatif, atau was-was kalo salah bertindak.  Nah efeknya tentu akan berimbas ke produktivitas di pekerjaannya. Suasana yang kurang kondusif ini sedikit banyak akan berpengaruh pada pekerjaan kita sehari-hari. Jadi males bekerja atau males berpikir kreatif. Akhirnya kadang-kadang si Bapak pun menjadi orang yang tidak diharapkan kehadirannya, anak-anak akan senang dan gembira jika si Bapak tidak ada di rumah. 

Pemimpin yang dirindukan



Mengambil hikmah dari cerita tentang  ember :
1.Maukah kita, ketika berposisi Bapak dan menabrak ember, bersikap adil, mengakui bahwa kita sesungguhnya juga bisa berbuat ceroboh, terburu-buru dan kurang berhati-hati seperti si anak? Tidak terburu-buru menyalahkan si Anak dan tidak pula langsung emosi dengan kesalahan si anak. Jika si Anak berbuat kesalahan, si Bapak bisa menegurnya dengan bahasa yang lembut dan penuh kasih..
2.Maukah kita, ketika si anak menabrak ember, terlebih dahulu juga memberi perhatian dan berempati kepada rasa kebelet yang dirasakan si anak? Atau, kenapa si anak sampai menabrak ember? Si anak sedang ngantuk kah karena banyak tugas yang diberikan, atau apakah si Anak sedang kurang sehat. Cari 1001 alasan untuk berpikir positif jika anak-anak kita berbuat kesalahan. Si Bapak melakukannya dengan penuh cinta untuk dapat mengayomi si Anak
3.Atau maukah kita, ketika diposisi Bapak maupun anak, sama-sama mencari solusi terbaik, mencari inovasi tentang sistem pekerjaan kita sehingga tidak berpotensi untuk mengganggu jalanan seperti ember tadi. Terus mengasah kapak kita, melakukan dengan penuh cinta hingga si Ember pun akan kembali menempati tempat yang benar, dengan cara yang kreatif penuh inovasi.
Menjadi seorang ‘bapak’ tentu tidak lah mudah. Apalagi menjadi 'bapak' yang dirindukan. Bapak di sini adalah sosok pemimpin yang diharapkan bisa menjadi sumber motivasi buat anak-anaknya. Kalau anak-anak diwajibkan untuk terus belajar dan belajar, maka untuk menjadi “bapak” yang baik juga harus terus belajar dan belajar. Bagaimana peran bapak bukan hanya sebagai orang tua, tapi juga guru, teman, pemimpin, pengayom, dan inspirator buat anaknya. Memang tidak mudah untuk menjadi Bapak yang menyenangkan dan selalu dirindukan kehadirannya.  Memang tidak semudah membalikkan tangan. Pasti banyak  kisah-kisah tentang Bapak, Anak dan Ember yang berbeda  yang bisa menjadi inspirasi yang memotivasi untuk senantiasa mencoba. Mencoba menjadi ‘Bapak’ dan ‘Anak-anak’ yang menyenangkan dan dirindukan.....

Senin, 22 Agustus 2016


Asyiknya menjadi Pawang Audiens




Menjadi Pawang?? Orang taunya pawang itu ya pawang hujan, pawang ular atau pawang binatang buas. Lah terus kalau pawang audiens itu seperti apa?

Jika Kita sebagai seorang pembicara apakah itu trainer, fasilitator, narasumber, dan lain sebagainya – saya yakin bahwa memahami audiens merupakan hal mendasar yang perlu diperhatikan. Memahami bahasa tubuh audiens buat seorang pembicara sangatlah penting untuk mengetahui kondisi mereka dan bagaimana cara menanganinya.
Dari bahasa tubuh kita bisa mengetahui apakah mereka sedang memperhatikan apa yang kita sampaikan atau tidak. Itu lah mengapa, ketika kita menjadi pembicara kita akan seperti pawang. Layaknya seorang pawang, maka kita bisa “berkomunikasi” dengan audiens Semakin sering kita menjadi pembicara maka “sense” pawang ini akan semakin terasah. Kita bisa membedakan bahasa tubuh mana yang memang orang itu fokus mendengarkan, bahasa tubuh mana yang pikirannya sedang menerawang ditempat lain, bahasa tubuh orang bosen, bahasa tubuh orang yang lelah mulai mengantuk dan lain-lain.


Menjadi pawang, berarti kita harus paham tindak tanduk audiens. Melalui bahasa tubuh kita bisa memahami apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka perlukan. Sehingga apapun reaksi atau kondisi audiens kita bisa menanganinya dengan tepat.


Anda pernah melihat seorang bengkel motor / mobil yang hanya dengan mendengar suara kendaraan Anda, langsung sudah tahu problem kendaraan anda apa? Itulah yang akan Anda alami, menjadi pawang audiens, seperti menjadi ahli bengkel motor yang piawai seperti itu.


Saya pernah mengikuti sebuah sosialisasi kebijakan baru dimana salah satu narasumbernya adalah narasumber tamu dari instansi lain. Saya yang kebetulan waktu itu ikut mendampingi audiens  sambil bertugas menjadi MC ikut mengamati perilaku orang-orang yag ada dalam ruangan itu. Ketika si pembicara menyampaikan materinya, suasana yang remang-remang karena lampu ruangan di matikan, suara pembicara yang syahdu lembut hampir tak terdengar dan terus menyampaikan materi dari paparan powerpointnya tanpa melihat kondisi peserta sosialisasi saat itu. Dalam sapuan pandangan mata tentang kondisi saat itu, saya melihat para audiens banyak yang mulai terkantuk-kantuk. Ketika saya pancing dari grup peserta di grup whatsapp agar peserta fokus, banyak dari mereka yang kemudian komentar ngantuk ah bu, nggak kedengeran bu suaranya, bosen bu dan komentar-komentar lain. Hmm..saya hanya bisa membayangkan kalau si pembicara itu saya, terus audiensnya malah pada asyik sendiri duh betapa sedihnya saya, karena apa yang saya sampaikan tentu tidak akan masuk ke mereka. Jangankan paham, mau mendengarkan saja mereka tidak mau. Itulah mengapa untuk menjadi pembicara pun harus terus menggali ilmu berbicara, menggali ilmu seninya berbicara.



Tips Cara Menganalisa reaksi audiens


1. Anda harus sadar apakah audiens perhatian/tertarik : apakah mata, kontak atau body language yang lain menunjukkan mereka konsentrasi dengan anda atau pesan anda. Apakah audiens mendengarkan semua pesan atau sebagian pesan saja.


Apakah mungkin muncul ‘perlawanan’ dari mereka?
Ketika nantinya kita menyampaikan materi kita di hadapan mereka, apakah ada di antara mereka yang mungkin kontra atau tak setuju semenjak awal dengan materi yang kita bawakan. Jika iya, maka bijak kiranya jika kita menentukan sikap serta strategi untuk menghadapi hal tersebut.


Secara umum, reaksi audiens bisa digolongkan menjadi tiga, yaitu menolak, menerima, dan tidak beraksi. Sebelum presentasi dimulai, pembicara harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga kemungkinan reaksi audiens tersebut. Meskipun reaksi audiens dapat diprediksikan sebelumnya, namun reaksi mereka atau sebagian dari mereka kadang- kadang tidak seperti yang diperkirakan. Oleh karena itu, pembicara harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga kemungkinan tersebut.


2. Feedback/umpan balik. Salah satu indikator suksesnya sebuah penyampaian informasi adalah adanya respon/feedback dari penerima informasi. Dapatkan feedback dari audiens Anda dengan mengamati bahasa tubuh mereka. Apakah meraka mengatuk, bosan, cemas atau justru antusias dengan ciri-ciri mata berbinar, memberikan tepuk tangan, berpartisipasi menjawab pertanyaan Anda atau aktif memberikan respon.

Berbicara di depan umum bukanlah hal yang mudah, apalagi menjadi seorang pembicara yang menyenangkan dan bias membuat audiens benar-benar menyimak apa yang kita bicarakan , tapi hal itu bukan tidak mungkin dilakukan. Sambil terus memoles kemampuan taknis kita dalam melakukan presentasi atau bicara di depan umum, kita bias sering-sering mempraktekkan ilmu menyenangkan orang  pada orang-orang di sekeliling kita dengan antara lain memberi senyuman, memberikan pujian, berpikiran positif , kreatif tentang bagaimana menyampaikan sesuatu agar menyenangkan, memberikan ice breaking jika dibutuhkan dan cara-cara menarik lainnya. Menjadi pembicara yang menyenangkan merupakan langkah awal yang sangat penting dilakukan, agar probabilitas audiens mau mendengarkan dan menyerap apa yang kita bicarakan semakin besar.


Seperti quote yang diucapkan oleh Lily Walters, seorang public speaker ternama di Amerika, bahwa kesuksesan sebuah presentasi tidak dinilai berdasarkan pada pengetahuan yang disampaikan oleh pembicara, tetapi pada apa yang diterima atau ditangkap oleh audiens.



Teruslah belajar…teruslah berlatih untuk menjadi pawang audiens.....

Kamis, 11 Agustus 2016


Benarkah para wanita bisa diandalkan?
      Pria dan wanita adalah dua mahluk yang satu sama lain saling menyempurnakan. Karena pria dan wanita masing-masing mempunyai kekurangan dan kelebihan. Dengan adanya pria dan wanita, dunia menjadi lengkap adanya. Masing-masing menjadi pelengkap bagi yang lain. Dengan kelebihan dan kekurangannya masing-masing tentu wanita dan pria mempunya fungsi dan peran masing-masing. Dua-duanya pasti bisa diandalkan hingga bisa menjadi kekuatan. Dan jika dua kekuatan ini disatukan maka akan menjadi satu kekuatan yang luar biasa.
        Seperti di tempat saya bekerja. Dengan jumlah seluruh pegawai 31 orang, jumlah pegawai wanitanya hampir 75%. Bisa dibayangkan kan gimana kondisinya? Seru udah pasti karena namanya ibu-ibu pasti luar biasa ramenya. Namanya juga emak-emak yang masing-masing pasti rempong dengan urusannya. Tapi...jangan ditanya kalau masalah kinerjanya. Lho memang kenapa kalau pegawai wanita? Apakah pegawai wanita diragukan kinerjanya? Hohoho tentu tidak. Wanita juga bisa diandalkan.  Kalau saya deskripsikan dalam narasi panjang nan meliuk melelahkan, pasti anda bisa berkata ah itu mah lebay aja. Tapi kalau anda datang sendiri ke kantor saya, melihat kinerja teman-teman pegawai wanita dikantor saya, pasti akan berdecak kagum. Dan bisa membuktikan bahwa wanita memang bisa diandalkan. Dikantor saya, bukan hanya mayoritas pegawainya wanita, tapi dari mayoritas wanita itu juga mayoritas adalah jelita (jelang usia 50 tahun) dan lelita (lebih lima puluh tahun).  Kata anak saya, temen ummi kok banyak mbah-mbah sih. Hahahaha.....
Tapi walaupun mbah-mbah dan sekali lagi wanita, kami bisa membuktikan kinerja kami. Di barisan depan yang merupakan wajah kantor kami, anda akan disambut dengan ramah oleh para petugas Front liner kami yang tidak seperti di kantor perbankan yang petugas Front linernyanya muda-muda,  tapi ini tidak mengurangi kelihaian mereka melakukan pelayanan, tidak mengurangi kepiawaian mereka menyelesaikan permasalahan mitra kerja. Kalau bicara prestasi, predikat pegawai terbaik dikantor kami  untuk beberapa tahun ini juga diraih oleh pegawai wanita. Bukan karena pegawai prianya tidak berprestasi,sama sekali bukan, karena pegawai pria yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari semuanya adalah pegawai-pegawai yang luar biasa juga. Kami saling bersinergi , saling mendukung satu sama lain.  Tak heran, kantor kami bisa masuk sebagai salah satu  Kantor pelayanan percontohan di tahun 2016 ini.
           Untuk tugas-tugas yang mengharuskan kami menyelesaikan segera, tak kalah sigap,  ,,teman-teman pegawai wanita akan siap dan tanggap untuk melaksanakan tugasnya walaupun harus lembur sampai malam. Dan mereka melakukannya dengan ikhlas dan sepenuh hati. Bagi kami inilah rumah kedua kami, dan rasa memiliki itulah yang kami tuangkan dalam bentuk memberi yang terbaik. Dan ini tidak mungkin mereka lakukan tanpa sebuah rasa cinta bukan? Jangan tanya tentang kecintaan mereka pada keluarga karena pasti itu nomer satu untuk mereka. Mereka masih bisa menyiapkan keperluan keluarga dengan belanja sayur sebelum jam kehadiran ditutup, mereka masih bisa menjemput anak-anak mereka saat pulang sekolah disaat jam istirahat dan kembali menjalankan tugasnya tepat setelah jam istirahat. Sepulang kantor mereka masih harus berjibaku menyiapkan masakan untuk hidangan makan malam untuk keluarga mereka kemudian menjadi orang yang tidur paling akhir karena masih harus membereskan rumah. Dan paginya, mereka orang yang paling pertama bangun untuk kembali menyiapkan keperluan anak dan suami mereka. Sekali lagi, kalau bukan karena rasa cinta tentu mereka tak akan sanggup melakukan segunung aktivitas itu dengan peran ganda pula. Kalau bukan kecintaan mereka dan harapan mereka akan dicintai Tuhannya tentu mereka tak kan sanggup melakukanya. Kekuatan sebuah cinta...

             Jadi, jangan ditanya apakah mereka sebagai wanita bisa diandalkan? Karena mereka memang bisa diandalkan. Sekali lagi dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan peran masing-masing. Ibarat sebuah rumah, masing-masing dapat diandalkan dengan perannya sebagai atap, sebagai pintu, sebagai dinding bahkan peran sebagai batu bata. Sekecil apapun peran itu tentu sangat berguna dan saling dukung mendukung menciptakan rumah yang rapi, indah dan bagus. Selain berkarya , di sini kami juga tak lupa  terus belajar, terus mengasah kapak kami, terus memantaskan diri untuk selalu menjadi pribadi-pribadi yang bermanfaat untuk organisasi kami. Karena dunia memang tak kan lengkap tanpa kami, seperti halnya dunia yang tak lengkap tanpa pria. Mari bersama wujudkan dunia penuh dengan harapan bukan hanya untuk kita tapi juga untuk generasi setelah kita....