Senin, 22 Agustus 2016


Asyiknya menjadi Pawang Audiens




Menjadi Pawang?? Orang taunya pawang itu ya pawang hujan, pawang ular atau pawang binatang buas. Lah terus kalau pawang audiens itu seperti apa?

Jika Kita sebagai seorang pembicara apakah itu trainer, fasilitator, narasumber, dan lain sebagainya – saya yakin bahwa memahami audiens merupakan hal mendasar yang perlu diperhatikan. Memahami bahasa tubuh audiens buat seorang pembicara sangatlah penting untuk mengetahui kondisi mereka dan bagaimana cara menanganinya.
Dari bahasa tubuh kita bisa mengetahui apakah mereka sedang memperhatikan apa yang kita sampaikan atau tidak. Itu lah mengapa, ketika kita menjadi pembicara kita akan seperti pawang. Layaknya seorang pawang, maka kita bisa “berkomunikasi” dengan audiens Semakin sering kita menjadi pembicara maka “sense” pawang ini akan semakin terasah. Kita bisa membedakan bahasa tubuh mana yang memang orang itu fokus mendengarkan, bahasa tubuh mana yang pikirannya sedang menerawang ditempat lain, bahasa tubuh orang bosen, bahasa tubuh orang yang lelah mulai mengantuk dan lain-lain.


Menjadi pawang, berarti kita harus paham tindak tanduk audiens. Melalui bahasa tubuh kita bisa memahami apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka perlukan. Sehingga apapun reaksi atau kondisi audiens kita bisa menanganinya dengan tepat.


Anda pernah melihat seorang bengkel motor / mobil yang hanya dengan mendengar suara kendaraan Anda, langsung sudah tahu problem kendaraan anda apa? Itulah yang akan Anda alami, menjadi pawang audiens, seperti menjadi ahli bengkel motor yang piawai seperti itu.


Saya pernah mengikuti sebuah sosialisasi kebijakan baru dimana salah satu narasumbernya adalah narasumber tamu dari instansi lain. Saya yang kebetulan waktu itu ikut mendampingi audiens  sambil bertugas menjadi MC ikut mengamati perilaku orang-orang yag ada dalam ruangan itu. Ketika si pembicara menyampaikan materinya, suasana yang remang-remang karena lampu ruangan di matikan, suara pembicara yang syahdu lembut hampir tak terdengar dan terus menyampaikan materi dari paparan powerpointnya tanpa melihat kondisi peserta sosialisasi saat itu. Dalam sapuan pandangan mata tentang kondisi saat itu, saya melihat para audiens banyak yang mulai terkantuk-kantuk. Ketika saya pancing dari grup peserta di grup whatsapp agar peserta fokus, banyak dari mereka yang kemudian komentar ngantuk ah bu, nggak kedengeran bu suaranya, bosen bu dan komentar-komentar lain. Hmm..saya hanya bisa membayangkan kalau si pembicara itu saya, terus audiensnya malah pada asyik sendiri duh betapa sedihnya saya, karena apa yang saya sampaikan tentu tidak akan masuk ke mereka. Jangankan paham, mau mendengarkan saja mereka tidak mau. Itulah mengapa untuk menjadi pembicara pun harus terus menggali ilmu berbicara, menggali ilmu seninya berbicara.



Tips Cara Menganalisa reaksi audiens


1. Anda harus sadar apakah audiens perhatian/tertarik : apakah mata, kontak atau body language yang lain menunjukkan mereka konsentrasi dengan anda atau pesan anda. Apakah audiens mendengarkan semua pesan atau sebagian pesan saja.


Apakah mungkin muncul ‘perlawanan’ dari mereka?
Ketika nantinya kita menyampaikan materi kita di hadapan mereka, apakah ada di antara mereka yang mungkin kontra atau tak setuju semenjak awal dengan materi yang kita bawakan. Jika iya, maka bijak kiranya jika kita menentukan sikap serta strategi untuk menghadapi hal tersebut.


Secara umum, reaksi audiens bisa digolongkan menjadi tiga, yaitu menolak, menerima, dan tidak beraksi. Sebelum presentasi dimulai, pembicara harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga kemungkinan reaksi audiens tersebut. Meskipun reaksi audiens dapat diprediksikan sebelumnya, namun reaksi mereka atau sebagian dari mereka kadang- kadang tidak seperti yang diperkirakan. Oleh karena itu, pembicara harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga kemungkinan tersebut.


2. Feedback/umpan balik. Salah satu indikator suksesnya sebuah penyampaian informasi adalah adanya respon/feedback dari penerima informasi. Dapatkan feedback dari audiens Anda dengan mengamati bahasa tubuh mereka. Apakah meraka mengatuk, bosan, cemas atau justru antusias dengan ciri-ciri mata berbinar, memberikan tepuk tangan, berpartisipasi menjawab pertanyaan Anda atau aktif memberikan respon.

Berbicara di depan umum bukanlah hal yang mudah, apalagi menjadi seorang pembicara yang menyenangkan dan bias membuat audiens benar-benar menyimak apa yang kita bicarakan , tapi hal itu bukan tidak mungkin dilakukan. Sambil terus memoles kemampuan taknis kita dalam melakukan presentasi atau bicara di depan umum, kita bias sering-sering mempraktekkan ilmu menyenangkan orang  pada orang-orang di sekeliling kita dengan antara lain memberi senyuman, memberikan pujian, berpikiran positif , kreatif tentang bagaimana menyampaikan sesuatu agar menyenangkan, memberikan ice breaking jika dibutuhkan dan cara-cara menarik lainnya. Menjadi pembicara yang menyenangkan merupakan langkah awal yang sangat penting dilakukan, agar probabilitas audiens mau mendengarkan dan menyerap apa yang kita bicarakan semakin besar.


Seperti quote yang diucapkan oleh Lily Walters, seorang public speaker ternama di Amerika, bahwa kesuksesan sebuah presentasi tidak dinilai berdasarkan pada pengetahuan yang disampaikan oleh pembicara, tetapi pada apa yang diterima atau ditangkap oleh audiens.



Teruslah belajar…teruslah berlatih untuk menjadi pawang audiens.....

5 komentar:

  1. Balasan
    1. Hai mas hasbi..boljug itu apanya bolu kukus? wkwkwk...ma kasih udah mampir ya..so blessed to have audience like you hahahaha

      Hapus
  2. Haha, saya yg ngantukers ya bu,..
    Jadi malu,..

    BalasHapus
  3. Haha, saya yg ngantukers ya bu,..
    Jadi malu,..

    BalasHapus