Asyiknya menjadi Pawang
Audiens
Menjadi
Pawang?? Orang taunya pawang itu ya pawang hujan, pawang ular atau pawang
binatang buas. Lah terus kalau pawang audiens itu seperti apa?
Jika Kita
sebagai seorang pembicara apakah itu trainer, fasilitator, narasumber, dan lain
sebagainya – saya yakin bahwa memahami audiens merupakan hal mendasar yang
perlu diperhatikan. Memahami bahasa tubuh audiens buat seorang pembicara
sangatlah penting untuk mengetahui kondisi mereka dan bagaimana cara
menanganinya.
Dari bahasa tubuh kita bisa mengetahui apakah mereka sedang
memperhatikan apa yang kita sampaikan atau tidak. Itu lah mengapa, ketika kita
menjadi pembicara kita akan seperti pawang. Layaknya seorang pawang, maka kita
bisa “berkomunikasi” dengan audiens Semakin sering kita menjadi pembicara
maka “sense” pawang ini akan semakin terasah. Kita bisa membedakan bahasa tubuh
mana yang memang orang itu fokus mendengarkan, bahasa tubuh mana yang
pikirannya sedang menerawang ditempat lain, bahasa tubuh orang bosen, bahasa
tubuh orang yang lelah mulai mengantuk dan lain-lain.
Menjadi
pawang, berarti kita harus paham tindak tanduk audiens. Melalui bahasa tubuh
kita bisa memahami apa yang mereka butuhkan, apa yang mereka perlukan. Sehingga apapun reaksi atau kondisi audiens kita bisa menanganinya dengan tepat.
Anda
pernah melihat seorang bengkel motor / mobil yang hanya dengan mendengar suara
kendaraan Anda, langsung sudah tahu problem kendaraan anda apa? Itulah yang
akan Anda alami, menjadi pawang
audiens, seperti menjadi ahli bengkel motor yang piawai
seperti itu.
Saya
pernah mengikuti sebuah sosialisasi kebijakan baru dimana salah satu
narasumbernya adalah narasumber tamu dari instansi lain. Saya yang kebetulan
waktu itu ikut mendampingi audiens sambil bertugas menjadi MC ikut mengamati
perilaku orang-orang yag ada dalam ruangan itu. Ketika si pembicara menyampaikan materinya, suasana yang
remang-remang karena lampu ruangan di matikan, suara pembicara yang syahdu
lembut hampir tak terdengar dan terus menyampaikan materi dari paparan powerpointnya
tanpa melihat kondisi peserta sosialisasi saat itu. Dalam sapuan pandangan mata tentang kondisi saat itu, saya melihat
para audiens banyak yang mulai terkantuk-kantuk. Ketika saya pancing dari grup
peserta di grup whatsapp agar peserta fokus, banyak dari mereka yang kemudian
komentar ngantuk ah bu, nggak kedengeran bu suaranya, bosen bu dan
komentar-komentar lain. Hmm..saya hanya bisa membayangkan kalau si pembicara
itu saya, terus audiensnya malah pada asyik sendiri duh betapa sedihnya saya,
karena apa yang saya sampaikan tentu tidak akan masuk ke mereka. Jangankan
paham, mau mendengarkan saja mereka tidak mau. Itulah mengapa untuk menjadi
pembicara pun harus terus menggali ilmu berbicara, menggali ilmu seninya
berbicara.
Tips
Cara Menganalisa reaksi audiens
1. Anda
harus sadar apakah audiens perhatian/tertarik : apakah mata, kontak atau body
language yang lain menunjukkan mereka konsentrasi dengan anda atau pesan anda.
Apakah audiens mendengarkan semua pesan atau sebagian pesan saja.
Apakah
mungkin muncul ‘perlawanan’ dari mereka?
Ketika nantinya kita menyampaikan materi kita di hadapan mereka, apakah ada di antara mereka yang mungkin kontra atau tak setuju semenjak awal dengan materi yang kita bawakan. Jika iya, maka bijak kiranya jika kita menentukan sikap serta strategi untuk menghadapi hal tersebut.
Ketika nantinya kita menyampaikan materi kita di hadapan mereka, apakah ada di antara mereka yang mungkin kontra atau tak setuju semenjak awal dengan materi yang kita bawakan. Jika iya, maka bijak kiranya jika kita menentukan sikap serta strategi untuk menghadapi hal tersebut.
Secara
umum, reaksi audiens bisa digolongkan menjadi tiga, yaitu menolak, menerima,
dan tidak beraksi. Sebelum presentasi dimulai, pembicara harus mempersiapkan
diri untuk menghadapi ketiga kemungkinan reaksi audiens tersebut. Meskipun
reaksi audiens dapat diprediksikan sebelumnya, namun reaksi mereka atau
sebagian dari mereka kadang- kadang tidak seperti yang diperkirakan. Oleh
karena itu, pembicara harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ketiga
kemungkinan tersebut.
2. Feedback/umpan
balik. Salah satu indikator suksesnya sebuah penyampaian informasi adalah
adanya respon/feedback dari penerima informasi. Dapatkan feedback dari audiens
Anda dengan mengamati bahasa tubuh mereka. Apakah meraka mengatuk, bosan, cemas
atau justru antusias dengan ciri-ciri mata berbinar, memberikan tepuk tangan,
berpartisipasi menjawab pertanyaan Anda atau aktif memberikan respon.
Berbicara di depan umum bukanlah hal yang mudah, apalagi menjadi seorang pembicara yang menyenangkan dan bias membuat audiens benar-benar menyimak apa yang kita bicarakan , tapi hal itu bukan tidak mungkin dilakukan. Sambil terus memoles kemampuan taknis kita dalam melakukan presentasi atau bicara di depan umum, kita bias sering-sering mempraktekkan ilmu menyenangkan orang pada orang-orang di sekeliling kita dengan antara lain memberi senyuman, memberikan pujian, berpikiran positif , kreatif tentang bagaimana menyampaikan sesuatu agar menyenangkan, memberikan ice breaking jika dibutuhkan dan cara-cara menarik lainnya. Menjadi pembicara yang menyenangkan merupakan langkah awal yang sangat penting dilakukan, agar probabilitas audiens mau mendengarkan dan menyerap apa yang kita bicarakan semakin besar.
Seperti quote yang diucapkan oleh Lily Walters, seorang public speaker ternama di Amerika, bahwa kesuksesan sebuah presentasi tidak dinilai berdasarkan pada pengetahuan yang disampaikan oleh pembicara, tetapi pada apa yang diterima atau ditangkap oleh audiens.
Teruslah belajar…teruslah berlatih untuk menjadi pawang audiens.....
bener mas..matur nuwun sudah mampir
BalasHapusBoljug ni tulisannya,..
BalasHapusHai mas hasbi..boljug itu apanya bolu kukus? wkwkwk...ma kasih udah mampir ya..so blessed to have audience like you hahahaha
HapusHaha, saya yg ngantukers ya bu,..
BalasHapusJadi malu,..
Haha, saya yg ngantukers ya bu,..
BalasHapusJadi malu,..